Minggu, 27 Maret 2011

“Susahnya Membuang Sampah Di Kampus”


Khoirul Rohima & Rizky Arya Lestari
“Susahnya Membuang Sampah Di Kampus” 

                Suprihatin laki-laki asal Sleman yang merupakan salah satu petugas Cleaning Service ini. Menanggapi pernyaakan yang diungkapkan oleh Uli dan Dayat. “Jumlah petugas Cleaning Service sebanyak 21 orang. Sedangkan tugas yang diemban sangat banyak” Ungkap bapak yang telah mengabdi selama 4 tahun di kampus FE ini.
                “Dalam bertugas, kami telah memiliki bagian masing-masing dalam bertugas misalnya saya menangani ruangan kelas sedangkan temannya bertanggung jawab di bagian lain” Ungkap bapak yang berkerja sejak pukul 05.30-15.30 setiap harinya.
                “Kami bukan karyawan FE, melainkan karyawan CV Cahaya Utama salah satu perusahaan jasa kebersihan  yang berkerja sama dengan FE. Sehingga setiap minggunya kinerja kami selalu di pantau oleh pihak pengawas dari perusahaan. Jika ada komplen bisanya pihak kampus menghubungi perusahaan kemudian pengawas menguhubungi kami. Ungkapnya sambil mengelap keringat dengan sapu tangannya.    
                Bapak yang memiliki 1 orang anak yang berusia balita ini melontarkan keluhannya “Sebetulnya kebersihan kampus merupakan tanggung jawab bersama. Meskipun itu merupakan tugas kami, alangkah lebih baik jika seluruh warga kampus ikut serta dalam mejaga kebersihan lingkungan kampus. Sehingga kampus juga bersih dan tugas kita pun akan terasa ringan” Ungkapnya penuh harap.  
                Pak Gito sebagai salah satu staff divisi rumah tangga yang mengurusi cleaning service, tukang parkir dan satpam mengungkapkan “ kerjasama juga sangat diperlukan dalam hal ini bukan hanya cleaning service, dosen juga perlu menegur mahasiswa secara langsung untuk membuang sampah pada tempatnya, seperti UAD dan UMY yang telah menerapkan metode ini dan tentunya mahasiswa lebih segan dengan teguran dosennya daripada teguran dari cleaning service itu, pengadaan tong sampah juga akan kami tambah sesuai dengan anggaran tahun ini” tutur pak Gito mengakhiri pembicaraan dengan kami pagi itu.
“Kesadaran mahasiswa  FE untuk membuang sampah masih sangat minim. Banyak sampah berserakan  seperti di EC, hall tengah dan pantai”. Terang mahasiswi manajemen 2007 bernama Uli (21) ini.  “Kebersihan bukanlah tanggung jawab mahasiswa tapi Cleaning Service ”.Ungkapnya dengan nada cuek. “Kita sudah bayar mahal sudah seharusanya mendapatkan pelayanan yang baik dari kampus” lanjutnya
                 Berbeda dengan Uli, Dayat memiliki alasan lain “Jumlah Warga FE banyak sedangkan jumlah Cleaning Service sangat terbatas. Sehingga mengakibatkan kampus kurang bersih.“ Ungkap laki-laki asal Jawa Timur ini.”Setiap hari petugas Cleaning Service harus menangani banyak hal  seperti membersihkan ruangan kelas, toilet, taman, cuci piring dan lain-lain. Ungkap salah satu birokrat mahasiswa yang rendah hati ini.

Rabu, 09 Maret 2011

Raja Kampus Adalah Rokok

   “Masih banyak mahasiswa yang menikmati sebatang rokok sambil menunggu dosen masuk kelas”, terang Ismail (22) mahasiswa manajemen 2007 yang telah menjadi perokok pasif sekitar 1 tahun lalu. “Hal ini membuat FE terasa sesak dengan banyaknya asap-asap rokok yang bertebaran”, lanjutnya.
                Itulah ungkapan yang dilontarkan salah satu mahsiswa FE menanggapi keadaaan kampusnya yang jauh dari rasa nyaman. Akan dengan mudah kita menemukan pembakar-pembakar tembakau di lingkungan kampus antara ini. Mulai dari mahasiswa, karyawan dan dosen sekalipun.
“Setahu saya tidak ada ya peraturan dilarang merokok, hanya pernah dengar saja isu tersebut ketika adanya pergantian dekan baru tahun kemarin tapi sampai sekarang nyatanya juga tidak terjadi apa-apa,” ungkap mahasiswa akuntansi 2008 bernama DS yang juga seorang perokok aktif.
                Disamping karena sudah menjadi kebiasaan, tidak adanya peraturan yang melarang merokok di kawasan kampus merupakan salah satu alasan yang membuat DS dan kawan-kawannya yang lain masih tetap menikmati batang demi batang lintingan tembakau beracun tersebut. Dia mengakui jika nantinya peraturan larangan merokok memang harus dikeluarkan dia akan berusaha mematuhinya. “Yah sebagai mahasiswa, jika ada peraturan seperti itu saya nurut-nurut saja”, jawabnya.
         Peraturan larangan merokok tidak jauh pula dari aturan syariat. Bahkan MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Maka dalam hal ini, DPPAI, yang merupakan pusat pengembangan keislaman di UII nampaknya juga perlu melakukan hal serupa MUI. Dari dua narasumber DPPAI yang kami temu,i mengemukakan sepakat tentang adanya peraturan larangan merokok.
        “Sampai saat ini UII belum mempunyai peraturan tegas tentang larangan merokok, tapi untuk kerjasama dengan seponsor perusahaan rokok sudah tidak diperbolehkan sejak tahun 2006”, ungkap Kadiv Pendidikan dan Pengembangan Isalm DPPAI Pak Supriyanto Pasir dengan nada tegas. “ Meski begitu beberapa fakultas seperti FK, FPSB dan FTSP telah menetapkan aturan larangan merokok di lingkungan kampus, sehingga di sana suasananya lebih nyaman, tenang, bersih dan  lebih kondusif untuk belajar”, lanjutnya sambil mengelus jengot panjangnya.
Ditemui di tempat yang sama Pak Zamroni, Kadiv Pendidikan dan Pengembangan Dakwah ikut menimpali, “saat ini peraturan larangan merokok di kampus belum ada kebijakan tetapnya. Kebijakanya ada pada masing-masing Fakultas”.
“Sebetulnya peraturan dilarang merokok di wilayah kampus UII bisa diterapkan. Seperti aturan mengenakan jilbab. Prosesnya bertahap misalnya dari dosen dan karyawan dilarang untuk merokok di lingkungan  kampus, lama–kelamaan peraturan tersebut dapat diberlakukan untuk mahasiswa juga”, ungkap bapak yang telah berhenti merokok 1 tahun lalu ini.
Disela penjelasnnya, kedua bapak petinggi DPPAI ini menyatakan bahwa akan jauh lebih mudah menerapkan peraturan tersebut di FE sekarang ini karena dilihat dari sisi birokrasi yang mendukung. Kalau zaman dahulu, salah satu petingginya merupakan perokok berat sehingga akan susah menerapkan aturan larangan merokok.
“Maaf ya..untuk dulu FE mungkin akan susah menerima peraturan ini karena C** M** pasti akan lebih memilih dipukuli masa daripada harus berhenti dari kegiatan menghisap tembakau”, selanya yang diamini oleh rekan kerjanya Pak Pasir serta disusul dengan tawa dari kami berdua. Dan wawancara yang menyenangkan pun berakhir dengan beberapa pesan bahwa peraturan berhenti merokok haruslah dijalankan terlebih dahulu dikalangan dosen dan karyawan karena merekalah yang dijadikan contoh serta panutan mahasiswa.

Lahan sempit, Selatan FE UII

Sebuah lahan 200m2 bergantian berjejelan sepeda motor untuk singgah. Lahan tersebut diperuntukkan bagi 4000 mahasiswa yang membawa motor. Kepadatan kian lama kian tinggi, tapi berbading terbalik dengan perluasan lahan. Tempat parkir FE UII itu tak kondusif lagi menampung kendaraan mahasiswa untuk kuliah.

Tempat parkir yang cukup luas itu sekarang terlihat sangat sempit dan tidak tertata. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan keadaan 2 tahun silam. Ketika masuk ke area ini, terlihat motor yang berjajar rapi di area beratap seng memanjang ini. Jarak antara satu motor dengan motor lainya memiliki jarak yang cukup. Jika kita keluar dari area ini pun sangat tertib.

Keadaan ini nampak berbeda saat ini, tidak hanya area beratap saja, area yang tidak beratap pun penuh dengan motor berjejer bak ikan pindang yang sedang berjemur di siang hari. Motor-motor yang sedang diparkir memiliki jarak sangat berdekatan. Sehingga ketika kita akan mengeluarkan atau memasukan motor harus hati-hati, jika tidak hati-hati dapat mengores motor yang ada di samping kiri atau kanan yang diparkir. Lebih parah lagi jika motor tersebut jatuh akibat ketidak hati-hatian sebagai pemarkir. Kita pun harus bertanggung jawab atas motor yang terjatuh tadi.

Keadaan ini kian diperparah dengan adanya mahasiswa yang parkir menutup akses jalan masuk tiap bangsal. Simbol huruf “P” coret tak lagi dihiraukan. Akibatnya akses masuk kian sulit, banyak terjadi penumpukan kendaraan sementara dibeberapa sisi lain kosong tak terlihat, apalagi terisi.

“Susah cari tempat parkir di FE sekarang, jika sudah masuk jam ke 2 dan 3 kuliah pasti penuh. Jika sudah seperti itu, biasanya Saya memilih parkir sembarangan, dari pada harus terlambat masuk kelas gara-gara mencari tempat parkir”. Ungkap Rufi Mahasiswa Akutansi IP 2008 asal kota Tasikmlaya ini. Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya mengenai pengalamannya. Ketika ia tidak dijinkan masuk kelas oleh Dosen, akibat kesulitan mencari tempat parkir FE ini.”Pada saat Semester 5 awal, saya pernah terlambat dan tidak dizinkan masuk kelas,gara-gara sulit mencari tempat parkir. Padahal saat itu saya telah menargetkan sampai ke kampus 10 menit sebelum Dosen masuk kelas. Namun sesampainya di tempat parkir. Ia harus berkelilingi di parkiran untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk kendaraan roda dua kesayanganya”. Ungkap laki-laki yang bertubuh tinggi besar berkacamata ini.

Hal senada diungkapkan oleh Bondan mahasiswa Manajemen 2008. “Parkiran sekarang sangat Semerewut” Ungkap Bondan mahasiwa yang memiliki tinggi 180 cm, bertubuh kurus dan berambut keriting ini. ketika ditanya mengenai kondisi parkiran kampus FE saat ini. “ Sekarang jika masuk kampus diatas pukul 09.00. jarang sekali mendapatkan tempat parkir yang nyaman. Biasanya saya parkir sembarangan apalagi jika sudah terburu-buru” mengungkapkan keluahanya kepada kami, dengan nada rendah dan logat jawa yang sangat khas.

Pendapat lain di Ungkapkan Catya (20) Mahasiswa Menejemen 2008. Sekarang ini Ia jarang mengunakan sepedah motor untuk pergi ke kampus. Selain jarak kost dan kampus tidak begitu jauh. Ia lebih sering berjalan kaki untuk pergi ke kampus. “Lebih sehat dan Lebih hemat” ungkapnya dengan penuh semangat. Sambil mengepalkan tangan kanannya. Alasan lain pun diungkapkan dara asal Aceh ini. “Parkiran sekarang penuh, kurang aman, jika mau keluar kampus antriannya cukup panjang, karena tempat keluarnya sangat sempit” Ungkapnya tegas. Terpancar dari sorotan matanya yang tajam. Ia pun melanjutkan pembicaraan “Lebih baik saya menyimpan motor di kost.Lebih Aman. Namun ketika ia memerlukan motornya dalam keadaan darurat, ia pun harus berjalan ke kost untuk mengambil motornya. “ Ungkap mahasiswi yang merupakan aktivis HMI ini.

Berbeda dengan Catya, Hary laki-laki asli jogja ini memiliki pengalaman mengenai kondisi parkiran dikala hujan. Ketika hujan turun parkiran pun digenangi air setinggi 15 cm. Apalagi jika ia memarkirkan motornya di sebelah barat. Hampir setengah ban motor tergenang oleh air hujan tersebut. Sehingga ketika ia hendak pulang harus menunggu air hujannya surut terlebih dahulu. Ungkap mahasiswa yang memiliki hobi membaca ini.

Laki-laki kelahiran tahun 1991 mengungkapkan pedapat lain mengenai sistem parkiran yang kurang tertib. Menurut Hari petugas parkir agak “centil” jika pemarkirnya perempuan, penjaganya lebih ramah, sedangkan jika laki-laki lebih sering dicuekin dan galak. Ungkapnya dengan nada kesal sambil mengigit bibirnya. Dan sorot matanya yang sangat tajam.

Selain itu Helm raib tak kalah menjadi lagu lama khas tempat parkir. Faktor keamanan tak banyak mendapat perhatian dari pengelola kampus. “Maling disini nekat. Helm sudah dikancing, tetap saja bisa hilang”. Seloroh petugas parkir yang enggan disebut namanya.

Tim redaksi melakukan investigasi kepada beberapa mahasiswa untuk memberikan penilaian mengenai kondisi parkiran saat ini. Rata-rata mereka memberikan penilaian 60-65 mengenai kelayakan, kenyaman, penataan, dan keaman kondisi parkiran FE UII. “Masih sangat Jauh dari harapan”. ungkap Faisal (21) dengan nada penuh keyakinan.

Lalu Ia menarik napas lalu berpikir sejenak, kemudian malanjutkan pembicaranya ”Sebaiknya parkiran FE harus segera diberbaiki agar pemarkir merasa aman dan nyaman. Pertama tempatnya yang betangga-tangga diratakan saja, dan saluran airnya di betulkan agar tidak terjadi banjir ketika hujan. Kedua semua lahan parkir memang difungsikan sebagai area parkir. Ketiga lahan tersebut ditambah taman dan pepohonan agar terasa rindang, sehingga gas CO2 yang dikeluarkan dari motor dapat dihirup oleh tanaman yang ada disekitar. Terjadi sebuah simbiosis mutualisme. Dan kita pun dapat menghirup udara segar. Ungkap mahasiwa selalu berpikir ilmiah ini.

Parkir ideal

Sudah sepantasnya sesuatu yang dibayarkan dapat berbanding lurus dengan apa yang diterima. Harapan tak muluk itulah yang muncul ketika melihat leaflet tentang FE UII. Melihat leaflet tentang FE UII, kesan pertama yang terngiang di benak adalah institusi pendidikan ini menawarkan tempat representatif menimba ilmu. Sebuah tempat yang akan memanjakan para konsumenya agar menjadi orang berguna.



Fasilitas adalah sebuah bentuk kontra prestasi yang diberikan guna menunjang kegiatan. Apabila fasilitas tak mumpuni maka akan berdampak signifikan terhadap kinerja seseorang. Fasilitas yang berkinerja pas-pasan dan itu-itu saja dirasakan di Fakultas ini, diparkir FE UII.

Seorang Planolog ITB menuturkan “Kawasan parkir yang ideal memenuhi unsur perindang, perkerasaan, dan luas yang proporsional”.

Dengan kisaran mahasiswa yang tiap tahun bertambah, ada baiknya penambahan juga dilakukan. “Coba rasakan, parkir kian sulit. Namun, apa pihak kampus sudah menambah lahan baru. Lahan depan kampus FE UII sekarang malah sudah menjadi mini market?” sindir Mohammad Luthfi, mahasiswa FE UII.

Dari hal sepele tetang suara dari sudut parkiran kiranya patut menjadi bahan acuan rencana pembenahan FE UII. Tak terlalu muluk. Sederhana saja, fasilitas yang berkenaan langsung dengan mahasiswa segera tak berlarut-larut menjadi pembicaraan di kalangan mahasiswa.

“semrawut, kehujanan, tercuri dan banjir, semoga tak kian lama lagi musnah dari kawasan parkir FE UII”. ucap Deni Irawan memberikan harapan untuk masa depan FE UII.

"Dewasa dengan Menikah"

Di sebuah kursi meja bundar sepasang mahasiswa FE UII yang sedang memadu kasih disela-sela aktifitas kuliahnya, mereka mengenakan kaos warna biru muda yang sama persis, tangan yang saling mengenggan seolah mereka tidak ingin berpisah. Sang Putri pun menyandarkan kepalanya di bahu Sang Raja, lalu laki-laki itu mengubah posisi tangannya dengan melingkarkan di pinggang sang pujaan hati. Asstagfirullah “dunia serasa milik berdua yang lain ngontrak” Ungkap salah seorang teman penulis sambil melanjutkan tugas kuliahnya di tempat yang bersebrangan dengan pasnagan muda tersebut. Pemandangan diatas telah menjadi sesuatu yang biasa, karena tidak hanya satu pasangan saja, di sudut Selatan kampus yang penuh dengan orang-orang berlalu-lalang pun penulis menemukan pemandangan yang sama.



Di tempat yang berbeda yaitu Rumah Sakit jalan Babarsari di sebuah ruang poli anak yang di dominasi oleh “pasutri” dan Balita. Penulis menunggu teman kampusnya yaitu Iwan mahasisiwa Manajemen Internasioanal Program 2009 beserta Istrinya bernama Unik mahasiswi Kedokteran 2009. Mereka telah selesai memeriksakan anak pertamanya Arleen berumur 9 bulan. Setelah basa-basi sebentar, Iwan memutuskan untuk diwawancarai di kantin Rumah Sakit tersebut. Iwan meceritakan alasan mengapa ia menikah dini. Pada saat itu Iwan meminta orang-tuanya untuk meresmikan hubungan dengan Unik dalam suatu ikatan pertunangan, namun orang-tua menyarankan untuk langsung menikah saja. Meskipun umur kami masih muda dan belum memiliki penghasilan tetap, namun orang tua percaya kami dapat bertanggung jawab dengan keputusan ini. Ada perasaan bahagia ketika keluarga Unik pun menyetujui keputusaan tersbut. Ungkap Iwan tersenyum bangga sambil mengingat-ngingat kejadian 2 tahun silam ketika ia berumur 19 tahun.

Sambil menggendong Arleen istri tercinta pun datang, dengan mengenakan kaos dan jilbab berwarna ungu, sangat kompak dengan kaos yang dipakai suaminya. Kemudian ia duduk disamping suaminya. Ia pun menceritakan indahnya menikah dini “Menjadi pasangan muda itu enak, soalnya kemana-mana ada yang jaga dan menemani, selain itu, jika kami melakukan akatifitas berdua juga sudah halal, sehingga tidak akan menjadi fitnah malah jadi pahala. Sambil tertawa-tawa menatap suaminya penuh cinta. Selain itu ketika saya sedang malas belajar, suami mengingatkan dan memberikan semangat pada saya, begitu juga sebaliknya”. Ungkapnya manja, sambil meraih minuman yang berada di tangan suaminya.

Menikah saat masih mahasiswa tidak hanya membayangkan kesenangan saja. Sebab mereka harus dapat membagi waktu antara kuliah dan urusan rumah tangga, belum lagi Suami yang masih belum memiliki pendapatan yang tetap. Begitu juga yang dirasakan oleh pasangan muda ini, Iwan dan Unik sangat kompak dan saling memahami dalam menjalankan aktifitasnya, karena istri memiliki jadwal kuliah yang lebih padat, sehingga suami lebih pengertian dalam hal ini. Ungkap Unik yang selalu meyiapkan pakaian yang akan digunakan Iwan untuk kuliah.

Iwan pun mengungkapkan, ketika mereka dihadapkan dalam suatu masalah, mereka membicarakannya bersama, sehingga semuanya dapat terselesaikan. “Alhamdullah Saya orangnya sabar”. Ungkapnya sedikit narsis sambil mengelus dadanya dan menatap Unik yang sedang memainkan mainan Arleen. Istri tercinta pun menimpali “ Berbeda dengan mas Iwan, Saya lebih manja. Jadi Apapun yang diinginkan harus dituruti. Misalnya pulang kuliah saya ingin bermain-main dulu sama teman-teman, tapi saya harus cepat-cepat pulang ke rumah kasihan Arleen dan juga banyak tanggung jawab lain, seperti memasak dan mengurusi suami. Hal yang sering membuat Unik sebal dengan suaminya adalah ketika Suami pulang telat “Pokoknya kalo Mas Iwan pulang lebih dari jam 8 malam saya langsung SMS. Abi mau pulang nggak? Kalo Nggak, Aku kunci pintunya. Ungkap Unik dengan nada ancaman pada suami. Iwan hanya tersenyum-senyum saja mendengar steatment tersebut.

Pengalaman lain diceritakan oleh Nike seorang mahasiswi Farmasi 2007. Di sebuah Warung Bakso di Jalan Kaliurang tempat yang telah disepakati kam sebelumnyai, Nike pun menceritakan perubahan yang dialaminya setelah menikah. “Menjadi Lebih Dewasa” ungkapnya tegas. Sebelumnya ia adalah seseorang yang sangat manja, apa-apa harus ditemani. Sekarang ia telah berubah menjadi lebih mandiri. “Malu sudah punya anak, sekarang jika akan melakukan sesuatu lebih dipertimbangkan lagi. Sehingga dapat menjadi contoh yang baik untuk Billah”. Ungkap Ibu muda yang memiliki anak bernama Billah ini. Selain itu, ia merasa lebih bijak dalam memanaje keuanganya, karena saat ini ia telah berkeluarga dan membeli susu untuk buah hati yang sangat dicintainya, jika memiliki uang sisa lebih baik di tabung saja. Ungkap Nike yang memiliki suami seorang pengusaha muda di bidang industri kulit ini.

Nike pun menceritakan bagaimana ia membagi waktu antara kuliah dan mengurus anaknnya. “Alhamdulillah sampai saat ini saya masih dapat membagi waktu dengan baik, antara mengurusi Billah, Suami namun kuliah tetap menjadi prioritas utama.” Ungkap Nike penuh rasa bangga, terpancar dari sorot mata yang penuh dengan keoptimisan. Sambil menikmati satu mangkuk baso dan satu gelas es teh dihadapannya. Ia menlanjutkan ceritanya. Ketika papah mendengar permintaan anak bungsunya akan dilamar sang pujaan hati beliau sangat kaget. Anaknya yang sangat manja akan di pinang oleh seseorang pemuda dan akan segera meninggalkan keluarganya. “Alhamdulillah pada akhirnya beliau setuju untuk menikahkan kami dengan syarat tetap harus menyelesaikan kuliahnya, setelah menikah.sedangkan dalam urusan biaya kuliah tetap menjadi tanggung jawab beliau. Ungkap Mahasiswi yang menikah pada saat semseter dua ini.



Bagi seorang mahasiswi yang sudah berkeluarga, berpikir lebih dewasa menjadi suatu keharusan. Mereka tidak bisa lagi bermain-main dengan keadaan. Karena mereka miliki dua skala prioritas yang merupakan tanggung jawab. Seperti Fitri, mahasiswa Akuntansi 2008 yang saya temui di Serambi Masjid Al Muqtashidin, berusaha menyempatkan belajarnya sambil mengurusi rumah tangga. “Setiap hari saya selalu menyempatkan waktu untuk belajar. Biasanya setelah shalat Isya baru bisa belajar, sedangkan suami mengerjakan pekerjaannya. Ungkap mahasiswi yang telah sejak SMA berkeinginan untuk menikah di usia muda.

Saat ini menikah dini dapat menjadi sebuah tren masa kini, Namun, semua itu kembali lagi kepada individu masing-masing. Bagaimana mereka berkomitmen, dapat membagi waktu dan ikhlas dalam menjalankannya. Sehingga tidak ada sesuatu yang dikorbankan diantaranya dan akan diberikan kelanacaran OlehNya. Amin



"Modal Juang Seorang Asma Nadia”



Banyak orang yang masih engan untuk membeli sebuah buku. Misalnya Buku seharaga Rp.50.000,- sering dinyatakan mahal. Sedangkan untuk sebuah Baju seharga Rp.50.000,- dinyatakan murah. Itulah fenomena masyarakat saat ini.” di ungkapkan oleh Asma Nadia salah seorang penulis Best Seller Indonesia ini.
Padahal dengan membaca buku akan menperoleh banyak manfaat dan kaya akan ilmu. Salah satu contoh saya pernah bertemu dengan ibu-ibu berumur 76 tahun. Beliau masih sangat terlihat sangat sehat, ketika ia berbicara sangat teratur. Dan ia memiliki sistematika berpikir sangat baik. Saya pun bertanya Apa rahasia si nenek tadi? Ternyata resep awet mudanya itu adalah membaca dan menulis. Sehingga membaca dapat dijadikan salah satu resep awet muda” Terang ibunda dari Caca dan Adam serta istri dari Isa Alamsyah ini.
Mbak Asma memiliki semangat yang luar biasa dalam menulis. Dalam kurun waktu 8 tahun beliau telah menulis sebanyak 40 buku, 18 buku antologi, dan supervisi 150-an buku. Lebih dari 1 juta eksemplar bukunya tersebar, suatu angka yang luar biasa bagi kepenulisan di Indonesia.
Beberapa cerpen, sudah diangkat ke layar kaca dan salah satu cerpen Asma Nadia yang berjudul “Emak Naik Haji” bahkan diadopsi ke layar lebar, dan menjadi film nasional yang mampu bertahan dari gempuran film Hollywood. Film terbarunya yang berjudul “Rumah Tanpa Jendela” akan segera tanyang 24 Februari 2011 nanti. “Jangan lupa Nonton ya. Nanti hasil dari Filmnya akan didonasikan untuk seluruh anak Indonesia”. Dengan nada tertawa sambil mempromosikan filmnya kepada kami.
“Ketika menulis kita harus memiliki motivasi yang kuat, karena jika menulis hanya dijadikan sebagai hobi, maka suatu saat kita akan berhenti melakukannya sehingga tak akan abadi. ”Ungkapnya penuh semangat terpancar dari mata yang indah. Kemudian ia melanjutkan pembicarannya “Ini akan berbeda jika kita termotivasi misalnya agar orang tua bangga terhadap kita. Sedangkan bagi mbak Asma sendiri menulis merupakan modal berjuang untuk Caca dan Adam di Masa yang akan datang. Sehingga kita harus memiliki motivasi yang kuat dan kekal ketika menulis ” terang wanita campuran Cina dan Aceh ini.
Perjuangan seorang Asma Nadia menjadi seorang penulis seperti sekarang ini tidaklah mudah. Penuh dengan perjuangan. Berawal dari 0. Dulu ayahnya hanya seorang pedagang sehingga ia tidak memiliki rumah yang tetap. Tinggal dirumah konntrakan. Setiap bulan ayahanda tercintanya harus mencari uang sewa untuk rumah petaknya itu. Karena jika ia terlambat membayar rumah kontrakanya, ia dan keluarga harus segera meninggalkan tempat tinggal satu-satunya tersebut. Semenjak itu ia memiliki tekad untuk mengakat martabat keluarganya dengan meraih pretasi di sekolahnya.
Dengan semangat yang kuat prestasi demi prestasi berhasil diraihnya mulai SD, SMP hingga SMA. Dan ia pun dapat membagakan kedua orang tuanya. Ketika masuk kuliah ia pun dapat memasuki perguruan tinggi negeri jurusan sastra sesuai dengan minatnya. “Alhamdullillah” ucapnya penuh syukur dengan mata yang berkaca-kaca sambil mengingat-ingat masa lalunya.
Kemudian ia menceritakan perjalanan awal kepenulisnya. Ia menyukai dunia tulis-menulis semenjak SMP karena melihat kakaknya Helvi Tiana Rosa. Saat itu mbak Helvi sudah berkarya dengan novel-novel remajanya. Dari situ ia dapat membiayai hidupnya sendiri. Akhirnya mbak Asma pun termotivasi untuk menulis. Semenjak itu ia belajar menulis dari kakaknya seorang penulis terkenal di Indonesia.
Perjalan untuk menjadi seorang penulis hingga bisa menjadi seorang Asma Nadia sekarang ini tidaklah mudah. Pertama kali ia menerbitkan buku diusia 27 tahun. Kegagalan demi kegagalanpun ia terima dengan lapang dada. Perjuangan untuk menerbitkan sebuah buku selama 13 tahun lebih dilaluinya. Hasilnya ia dapat merasakannya sekarang. Selain menjadi penulis ia pun pemiliki Asma Nadia Publishing House, CEO lingkar Pena dan sering menjadi motivator menulis di berbagai negara. “ini semua berkat kerja keras” Ungkapnya tegas sambil mengepalkan tangannya penuh semangat.
Kemudian ia meneruskan ceritanya. Menjadi seorang penulis harus sering membaca. Saat ini banyak orang yang tidak suka membaca. Padahal sebetulnya hal tersebut bukan tidak suka melainkan mereka belum mengetahui buku bacaan apa yang mereka sukai. Sehingga mereka masih enggan melakukannya.
“Caca dan Adam memiliki minat baca yang berbeda. Ketika Caca berusia 4 tahun ia sudah bisa membaca dan buku apapun dibacanya. Sangat berbeda dengan Adam ketika ia disodorkan sebuah buku .Ia lebih sering meilhat gambar-gambarnya. Sehingga metode pembaiasaan membaca yang diberikan pun berbeda.” terang ibu yang berusia 40 tahun ini.
“Bacalah dari buku yang disukai sehingga kita akan mudah memahaminya. Misalnya orang yang suka membaca buku komedi. Bacalah buku komedi. Tidak menjadi masalah yang terpenting mereka mau membaca. lama-kelamaan mereka akan terbiasa membaca.” terang pendiri “rumah baca asma nadia” ini.
Mbak Asma pun menceritakan suami yang sangat dicintainya yaitu Isa Alamsyah. Beliau merupakan penulis buku “NO Excuse”. beliaulah yang selalu mendukungnya dalam semua aktifitas yang dilakukannya saat ini. “Beruntung sekali saya memiliki suami seperti beliau. Beliau adalah Suami yang sangat cerdas, pengertian dan pintar”. Terang ibunda yang telah menikah selama 16 tahun ini.
“Si ayah selalu bilang Bunda itu baru mengeluarkan 10 % dari kemampuan yang dimiliki. Sehingga harus terus mengasah dan mengali potensi yang belum tereskplore.” Dengan penuh antusias terpancar dari sinar matanya yang indah. “ beliau merupakan orang yang selalu produktif. Bahkan ketika tidur ia tetap produktif. Yaitu sambil mendownload software atau atrtikel. Sehingga beliau pun menciptakan keluarga yang produktif bagi Saya, Caca dan Adam”. Terang seorang ibu yang memiliki hobi photografi ini.
Mbak Asma memberikan komentar mengenai majalah Sintaksis. Menurut beliau majalah telah cukup baik. sehingga harus dipertahankan agar budaya menulis dan membaca mahasiwa tidak punah. Sambil menutup pembiacaraan.